Close sites icon close
Search form

Cari untuk di situs negara.

Profil negara

Situs web negara

Semakin Banyak Pengungsi Rohingya Mempertaruhkan Nyawa Melalui Perjalanan Laut Berbahaya dari Myanmar Akibat Krisis yang Memburuk

Cerita

Semakin Banyak Pengungsi Rohingya Mempertaruhkan Nyawa Melalui Perjalanan Laut Berbahaya dari Myanmar Akibat Krisis yang Memburuk

Konflik yang semakin intens di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, semakin memperburuk penderitaan pengungsi Rohingya—etnis minoritas Muslim tanpa kewarganegaraan yang mengalami persekusi - menjadikan mereka terpaksa untuk melarikan diri melalui jalur laut. Sejak perahu yang ditumpanginya mendarat di sebuah pantai di Aceh Timur, Indonesia, sebulan lalu, Ali (30) tinggal di lokasi penampungan yang penuh…
13 Februari 2025
Staf UNHCR membantu pengungsi Rohingya turun dari kapal di Aceh Selatan, Indonesia, pada Oktober 2024, setelah berbulan-bulan di laut. © UNHCR/Amanda Jufrian

Konflik yang semakin intens di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, semakin memperburuk penderitaan pengungsi Rohingya—etnis minoritas Muslim tanpa kewarganegaraan yang mengalami persekusi - menjadikan mereka terpaksa untuk melarikan diri melalui jalur laut.

Sejak perahu yang ditumpanginya mendarat di sebuah pantai di Aceh Timur, Indonesia, sebulan lalu, Ali (30) tinggal di lokasi penampungan yang penuh sesak bersama sekitar 380 pengungsi Rohingya lainnya. Mereka semua telah mempertaruhkan nyawa dengan perjalanan laut yang berbahaya dalam beberapa bulan terakhir.

Ali sangat khawatir dengan nasib orang tua dan saudara-saudaranya yang masih berada di kamp bagi pengungsi di Rakhine, Negara Bagian di Barat Myanmar, tempat ia tinggal selama 13 tahun terakhir. Hidup di sana memang selalu sulit, tetapi sejak akhir 2023, kondisi semakin memburuk bagi penghuni kamp dan komunitas di Negara Bagian Rakhine akibat konflik yang kembali memanas.

Ratusan warga sipil tewas akibat tembakan tanpa pandang bulu, serangan bom, dan ranjau darat. Banyak yang dipaksa menjadi tentara, mengungsi, atau kehilangan akses terhadap mata pencaharian, kebutuhan pokok utama dan berbagai bentuk layanan seperti kesehatan, makanan, dan air bersih.

Konflik ini juga menyebabkan terbatasnya jumlah bantuan kemanusiaan yang dapat diberikan UNHCR, Badan PBB untuk Pengungsi, serta organisasi kemanusiaan lainnya bagi pengungsi Rohingya di kamp pengungsian seperti tempat Ali dulu tinggal. Sejak konflik kembali pecah pada November 2023, akses bantuan kemanusiaan ke beberapa wilayah di Rakhine menjadi semakin sulit, meskipun masih ada dukungan yang diberikan oleh mitra lokal dan para relawan.

Dua Minggu Terombang-ambing di Laut

Kaum Rohingya telah lama menghadapi diskriminasi dan kekerasan di Myanmar, tetapi konflik saat ini semakin memperuncing ketegangan antara komunitas Rohingya dan penduduk Rakhine. Menurut Ali, meninggalkan kamp untuk mencari pekerjaan dan makanan menjadi semakin berbahaya. “Kadang kami pergi ke pantai untuk menangkap ikan demi mencari nafkah… tapi mereka menangkap kami, memasukkan kami ke penjara, atau bahkan membunuh kami. Kami tidak memiliki akses untuk bekerja, dan hidup semakin sulit. Tidak ada kesempatan untuk mendapatkan penghasilan.”

Ketika ia mendengar bahwa beberapa orang di kamp berencana melarikan diri dengan perahu, Ali memutuskan untuk mengikuti mereka bersama istri, dua anaknya, dan adik laki-lakinya.

Perjalanan itu berlangsung selama dua minggu. “Banyak dari kami jatuh sakit di perahu, muntah-muntah, dan mengalami berbagai masalah kesehatan,” ujarnya sambil menerangkan bahwa dari 125 orang di kapal, 35 di antaranya adalah anak-anak. “Setelah 10 hari, kami kehabisan makanan dan air.”

Perahu mereka mencapai perairan Malaysia tepat ketika mereka kehabisan persediaan. Namun, Ali mengatakan bahwa Angkatan Laut Malaysia tidak mengizinkan mereka mendarat dan mendorong kapal mereka kembali ke laut. Ketika mereka mencoba mendekati Thailand, mereka kembali diusir.

Akhirnya, kapal mereka sampai di pesisir Aceh, Indonesia pada tanggal 5 Januari. Ali dan penumpang lainnya berjalan ke pantai dan duduk di sana sampai mereka ditemukan oleh warga setempat yang kemudian menghubungi pihak berwenang.

“Saya tidak akan pernah menyarankan siapa pun untuk melakukan perjalanan laut seperti ini,” kata Ali. “Saya mengalami banyak kesulitan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.”

Rute yang Berubah

Meskipun resiko yang sangat berbahaya, jumlah pengungsi Rohingya yang menempuh perjalanan laut terus meningkat. Tahun lalu, lebih dari 7.800 orang mencoba melarikan diri dari Myanmar dengan perahu—naik 80% dibandingkan tahun 2023—dan lebih dari 650 di antaranya meninggal atau hilang. Sejak awal tahun ini, sekitar 700 orang lagi telah menaiki perahu untuk mencari keselamatan.

(link is external)Link is external

Jika pada tahun 2023 kebanyakan perahu berangkat dari Bangladesh—yang menampung lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya di kamp-kamp Cox’s Bazar—sejak tahun lalu, sebagian besar kapal justru berangkat langsung dari Myanmar.

(link is external)Link is external

Selain berlayar menuju Malaysia, Thailand, Indonesia, dan bahkan Sri Lanka, ribuan pengungsi Rohingya juga mencoba menyeberangi Sungai Naf untuk mencapai keselamatan di Bangladesh. Salah satunya adalah Sadeqa Bibi (19) dan anaknya yang berusia dua tahun.

Hingga 2024, Sadeqa dan suaminya masih menjalani kehidupan yang ia sebut “normal” di desa dekat kota Maungdaw, Rakhine. Namun, harga makanan terus melonjak hingga tak terjangkau. Pada 17 Juni, saat mereka bersiap memasak daging untuk perayaan Idul Adha, bom mulai berjatuhan di desa mereka.

Mereka melarikan diri ke Maungdaw dan bermalam di sana, tetapi keesokan paginya, sebuah bom menghantam rumah tempat mereka mengungsi, menewaskan suaminya dan membuat tangan adiknya putus.

Sadeqa bersama anak, orang tua, dan adik-adiknya berhasil menyeberangi Sungai Naf dengan perahu. “Ada banyak orang di sungai, lebih dari 50 orang dalam satu perahu,” kenangnya. “Sekitar 10 orang di antaranya sudah mati atau sekarat akibat luka tembak… Setelah menahan lapar dan haus selama sehari semalam, akhirnya kami sampai di daratan keesokan malamnya.”

Sadeqa Bibi dan putranya yang berusia dua tahun melarikan diri dari Myanmar setelah suaminya terbunuh dalam pengeboman. © UNHCR/Amanda Jufrian

Setelah tiba di Bangladesh, Sadeqa dan keluarganya tinggal bersama kerabat mereka di salah satu kamp pengungsi yang juga memiliki banyak keterbatasan. Akhirnya karena tidak ada pilihan, mereka dengan segera memutuskan untuk pergi dengan kapal yang kemudian berlayar selama berminggu - minggu di laut. Tanpa makanan dan air yang cukup, mereka terpaksa meminum air laut untuk bertahan hidup—tiga orang meninggal di perjalanan karenanya. Saat perahu akhirnya mencapai pesisir Aceh Selatan pada 18 Oktober, banyak dari 151 orang yang ada di kapal, berada dalam kondisi kritis.

Butuh beberapa hari bagi UNHCR dan mitra - mitra kerjanya untuk melakukan advokasi sebelum akhirnya Sadeqa dan penumpang lainnya diizinkan mendarat. Awalnya, masyarakat setempat menolak, namun kemudian mereka memberikan makanan, air, dan pakaian bagi para pengungsi.

“Selama berhari-hari di laut, kami terus berdoa kepada Allah, bertanya kapan kami bisa menginjakkan kaki di daratan,” kata Sadeqa. “Ketika [mereka] menyelamatkan kami dan membawa kami ke pantai, kami sangat bersyukur.”

Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Cerah

Saat ini, UNHCR bekerja sama dengan pemerintah daerah dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) untuk mengelola tujuh tempat penampungan sementara di Aceh dan Sumatra Utara dimana pengungsi Rohingya telah tinggal sejak mendarat dari kapal. Namun, hanya dua lokasi di Aceh yang telah ditetapkan sebagai tempat penampungan resmi dengan kondisi yang memadai. UNHCR menyediakan makanan melalui organisasi mitra lokal serta keamanan, konseling dan pelayanan lainnya untuk membantu para pengungsi.

Seorang anggota staf UNHCR berbicara dengan dua pengungsi Rohingya di sebuah lokasi di Aceh Selatan. © UNHCR/Amanda Jufrian

Dengan perairan yang lebih tenang di antara musim hujan dan situasi di Myanmar yang semakin memburuk, diperkirakan lebih banyak pengungsi Rohingya akan mencoba perjalanan berbahaya ini dalam beberapa minggu ke depan. UNHCR menghimbau negara-negara di kawasan untuk mengutamakan penyelamatan nyawa dan memastikan bahwa kebijakan perbatasan tidak menghalangi hak pengungsi untuk mencari perlindungan.

Ali bersyukur atas keamanan dan dukungan yang ia terima di Indonesia, namun Indonesia belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951, sehingga pengungsi di sini tidak memiliki hak untuk bekerja. Ia berharap dapat pergi ke tempat dimana ia dapat mencari pekerjaan dan menyekolahkan anak - anaknya.

“Saya ingin mereka mendapatkan pendidikan yang baik, saya tidak ingin mereka tidak berpendidikan seperti saya.Saya ingin mereka memiliki masa depan yang cerah.”