Ayub, 42, tidak pernah meraskan ketakutan yang lebih besar daripada kehilangan orang – orang yang ia kasihi. Ia telah mengorbankan segalanya untuk keluarganya.
Sebagai seorang Rohingya, sebuah etnis minoritas tanpa kewarganegaraan di Myanmar, Ayub dan keluarganya telah lama menghadapi diskriminasi, termasuk dalam hal pembatasan kebebasan perpindahan, pendidikan dan dalam hal memeluk agama. Ayub merasa bahwa ia harus meninggalkan rumahnya di Rakhine untuk pencari penghidupan dan mencukupi kebutuhan istri dan ke-7 anaknya.
Pada tahun 2013, dengan berani ia menempuh perjalanan panjang melalui darat, termasuk berjalan kaki, dari Myanmar ke Malaysia. Ia bekerja keras di Malaysia sebagai pekerja bangunan, dan ia percaya masa depan yang lebih baik akan menghampirinya dan keluarganya.
Namun kemunculan kekerasan di tahun 2017, telah memaksa lebih dari 742,000 pengungsi Rohingya untuk meninggalkan Myanmar ke Bangladesh, diantaranya adalah istri, orang tua dan anak – anak Ayub. Setelah dua tahun tinggal di kamp pengungsi yang padat di Cox’s Bazar, Bangladesh, keluarga mereka memutuskan untuk mengirim ketiga anak perempuan tertua mereka ke Malaysia untuk bergabung bersama Ayub.
Anak perempuan tertua mereka menempuh perjalanan dengan kapal dan mendarat dengan selamat di Malaysia pada tahun 2019. Dua adik perempuannya, Sahira, 17, dan Hafeza, 16, ingin mengikuti langkah kakaknya dengan harapan bergabung dengan ayah mereka dan mendapatkan kesempatan belajar dan bekerja. Mereka naik kapal dan menyerahkan nasib mereka ke tangan para penyelundup manusia yang menjanjikan kepada mereka, dan lebih dari 100 penumpang kapal lainnya, perjalanan selama 7 hari menuju Malaysia.
Hari – hari menjadi berminggu – minggu, dan berbulan – bulan, namun para penyelundup menolak untuk mendaratkan kapal mereka apabila para penumpang tidak memberikan bayaran lebih banyak. Sahira dan Hafeza melihat perlakuan para penyelundup yang mengerikan terhadap pada penumpang kapal, terkadang mereka menjalani hari – hari tanpa makanan dan air bersih. Banyak diantara penumpang yang meninggal akibat sakit atau pukulan oleh para penyelundup.
Ayub tidak mendengar kabar dari kedua anaknya sejak mereka meninggalkan Bangladesh. Para penumpang kapal tidak diizinkan untuk membawa barang bawaan, termasuk ponsel untuk berkomunikasi dengan keluarga. Baik Ayub maupun istrinya tidak mendengar kabar mengenai keberadaan kapal tersebut. Mereka telah siap untuk kemungkinan yang terburuk.
Baru 4 bulan kemudian, di penghujung bulan Juni 2020, ketika media melaporkan sebuah kapal dari Bangladesh terlihat di perairan di Aceh. Ayub sekali lagi memiliki harapan, namun dia tidak menemukan wajah Sahira dan Hafeza di berbagai foto yang diterbitkan dalam artikel – artikel berita. Ia meminta pertolongan kenalan yang memiliki koneksi di Indonesia untuk mencari informasi terkait kedua anak perempuannya, tapi tidak mendapatkan apa – apa. Sekali lagi, ia merasa putus asa dan menduga kedua anaknya berada diantara penumpang kapal yang tidak selamat dalam perjalanan tersebut.
Setelah 10 hari, ia menerima telepon dari sebuah nomor tak dikenal, ia tidak percaya apa yang ia dengar. Sahira dan Hafeza menelpon dengan bantuan staff UNHCR di Aceh. “Saya sangat bahagia ketika mereka telepon dan mengatakan mereka selamat. Kami semua menangis selama berbicara di telepon.”
Setelah mendengar cerita selengkapnya dari kedua anaknya, Ayub yakin ia tidak menginginkan Sahira dan Hafeza melanjutkan perjalanan ke Malaysia untuk menemuinya. Ia tidak ingin mengambil resiko Sahira dan Hafeza melalui kesulitan yang sama lagi dan memutuskan bahwa ia yang akan ke Indonesia untuk menemui mereka.
Dengan pertolongan sesama teman pengungsi di Malaysia, Ayub menemukan cara untuk mencapai Aceh dengan kapal. Perjalanan kapal yang ia lalui berjalan dengan baik, namun setibanya di tujuan, Ayub ditahan dalam rumah detensi karena kedatangan yang tidak sesuai hukum. UNHCR meminta agar ia dilepaskan, dan setelah 22 hari, akhirnya Ayub dibebaskan.
25 November adalah sebuah hari yang Ayub kira tak akan pernah datang. Ia diijinkan untuk meninggalkan rumah detensi dan dibawa ke Balai Latihan Kerja di Kandang, dimana kedua putrinya tinggal. Ketika ia mendekati gerbang utama, ia sudah melihat Sahira dan Hafeza menunggu untuk menyambutnya. Ketiganya saling berpelukan dengan air mata bahagia. “Kata – kata tidak dapat menggambarkan bagaimana perasaan saya, saya hanya ingat kami bertiga sangat emosional. Kami menangis sambil saling berpelukan,” Ayub mengingat.
Hafeza mengatakan setelah pertemuan tersebut, mereka bertiga memanjatkan doa syukur kepada Allah. Ia juga menyampaikan rasa terima kasihnya kepada orang – orang yang telah membantu mereka bersatu dengan ayah mereka, diantaranya pihak otoritas, para pekerja kemanusiaan dan staff UNHCR.
Melihat segala kesulitan yang dialami keluarga ini, termasuk di kampung halaman mereka di Rakhine, Myanmar, Ayub mengatakan saat ini ia dan kedua anaknya tidak memiliki rencana konkrit untuk masa depan mereka. Mereka hanya berharap suatu hari dapat kembali berkumpul bersama dengan keluarga lainnya di Bangladesh dan memperoleh kehidupan yang bahagia di negara manapun yang mau menerima mereka sebagai warga negara.
*Nama – nama dalam cerita ini diganti untuk alasan perlindungan.
Bagikan melalui Facebook Bagikan melalui Twitter