Zulfa (bukan nama sebenarnya), 16, tidak mendapat kesempatan untuk bersekolah di negara asalnya, Somalia. Perang telah menghancurkan mimpi anak perempuan yatim piatu ini, yang terpaksa melarikan diri dari negaranya ke Indonesia sekitar 10 bulan lalu.
Zulfa (bukan nama sebenarnya), 16, tidak mendapat kesempatan untuk sekolah di negara asalnya, Somalia. Perang telah menghancurkan mimpi anak perempuan yatim piatu ini, yang terpaksa melarikan diri dari negaranya ke Indonesia sekitar 10 bulan lalu.
Di Indonesia, dia tinggal di penampungan yang dijalankan oleh mitra UNHCR Indonesia, Church World Service (CWS), di Jakarta. “Saya ingin pergi ke sekolah, ke universitas. Saya ingin menjadi insinyur telekomunikasi. Saya ingin mejadi jutawan agar saya bisa membantu orang-orang miskin,” kata Zulfa dengan wajah berseri-seri.
“Mimpi” Zulfa untuk pergi ke sekolah menjadi kenyataan di Indonesia, dengan bantuan dari Sekolah Academic Colleges Group (ACG) Jakarta. Dia memiliki kesempatan untuk berpartisipasi di serangkaian kegiatan kelompok yang diselenggarakan oleh ACG. Zulfa merupakan salah satu dari 20 pengungsi muda yang turut serta dalam acara yang diselenggarakan satu hari penuh tersebut.
Kepala Sekolah ACG Stuart Tasker mengatakan bahwa acara ini adalah bagian dari program pelayanan masyarakat Sekolah ACG. “Pengungsi tentu saja berada dalam situasi sulit, dengan mengundang mereka ke sekolah, kami dapat menawarkan beberapa aktivitas yang kami harap menyenangkan dan menarik,” kata Tasker pada UNHCR. “[Hari ini] murid-murid Sekolah ACG Jakarta dapat berbagi pengetahuan mereka dan juga terus mengembangkan keterampilan sosial dengan berperan sebagai tuan rumah dan kawan,” kata beliau menambahkan.
Guru ACG yang menginisiasi acara tersebut, Sofia Afgan, mengatakan bahwa aktivitas ini baik untuk membuat para siswa berinteraksi dengan mereka yang kurang beruntung. “Aktivitas hari ini memberikan pengalaman bagi para siswa untuk bekerja dengan kelompok masyarakat internasional yang kurang beruntung seperti pengungsi,” kata Sofia.
Bersama dengan para siswa dan guru ACG, para pengungsi muda menuju ke gedung olahraga sekolah untuk serangkaian aktivitas untuk mencairkan suasana. Dalam sesi tersebut, setiap murid ACG dipasangkan dengan seorang pengungsi dan mereka berpasangan menjadi kawan bagi satu sama lain selama satu hari. Setiap pasangan bekerja sama untuk mengerjakan serangkaian proyek. Dua interpreter – berbahasa Afghanistan dan Somalia – didatangkan untuk memastikan kelancaran komunikasi antara guru, murid ACG dan tamu mereka dalam semua aktivitas.
Pada awalnya, beberapa pengungsi terlihat diam. Namun, keramahan dari pihak ACG dan antusiasme para tamu secara bertahap menciptakan ikatan yang solid dan kerja sama tim yang baik. Para pengungsi dan siswa ACG berkesempatan mengenal satu sama lain melalui aktivitas gabungan seperti kelas seni dimana mereka membuat bingkai foto yang dihiasi dengan ornamen dari tanah liat.
Seorang pengungsi Somalia, Abdi, dan seorang murid Indonesia kelas 10 bernama Nadira, memutuskan untuk mencantumkan nama mereka dan nama pemain bola dari klub sebakbola Barcelona Luis Suarez di bingkai mereka. “Saya suka sepakbola. Saya suka Suarez,” kata Abdi. “Kami mencantumkan nama Suarez di bingkai kami karena dia suka Suarez. Saya tidak tahu apa-apa tentang sepakbola,” kata Nadira sambil tertawa.
Selama sibuk membuat karya seni, para siswa dan pengungsi terlihat mengobrol. Tampak terlihat ada hambatan bahasa di antara mereka tetapi hal ini bukan masalah bagi seorang murid kelas 10 bernama Aisha, “Saya tidak menemukan hambatan bahasa, kami saling mengerti dan aktivitas ini menyenangkan,” kata Aisha, yang dipasangkan dengan seorang anak perempuan asal Afghanistan, Aliya.
Setelah mengerjakan karya seni, semua peserta belajar mengenai bagaimana cara membuat gunung api yang terbuat dari soda kue di kelas sains. Mereka bersama-sama membentuk “adonan” gunung api. “Para siswa sangat baik dan memberikan dukungan. Mereka sangat membantu saya,” kata Zulfa, sembari membuat “adonan”. Para peserta tampak terpukau saat gunung tersebut “meletus” dan mengeluarkan lahar warna-warni.
Di ruang olahraga, anak-anak lalu bermain dodgeball (lempar bola) dan mereka terbagi menjadi dua kelompok. Mereka terlihat semakin bersemangat ketika sang guru olahraga meniupkan peluit sebagai penanda bahwa permainan telah dimulai. Sementara itu, Hanna, seorang anak berusia 10 tahun yang mengungsi dari Afghanistan mengatakan bahwa awalnya dia enggan dan ragu untuk bermain saat melihat anak-anak lain saling melempar bola kearah tim lawan. Tetapi lambat laun, setelah melihat betapa senangnya anak-anak lain ketika bermain, Hanna bergabung dengan anak- anak lainnya dan ikut serta dalam permainan tersebut.
Para siswa dan anak-anak pengungsi kemudian melanjutkan kegiatan ke kelas musik dimana mereka belajar menyanyikan lagu berbahasa Inggris berjudul “The World’s Greatest” (Yang Terbaik di Dunia) yang dipopulerkan oleh penyanyi asal Amerika Serikat, R. Kelly. Beberapa siswa menampilkan bakat mereka dengan memainkan organ, gitar dan celo, sementara itu partisipan pengungsi menyanyi di depan penonton. Hanna dan Aliya, misalnya, dua saudara kembar ini menyanyikan lagu yang menyentuh yang berceritakan tentang ibu dan kebahagiaan, sementara itu, Hashim seorang pengungsi asal Afghanistan menyanyikan lagu Indonesia berjudul “Kesempurnaan Cinta”. Penampilan mereka disambut dengan tepuk tangan yang meriah oleh penonton.
Para pengungsi muda ini membawa pulang foto berbingkai indah yang menampilkan foto mereka dengan kawan-kawan dari ACG yang menjadi pasangan mereka. “Saya akan menyimpan foto ini di kamar saya,” kata Abdi sembari memandangi foto yang digenggamnya dengan penuh rasa bangga.
Hari itu juga menjadi hari yang sangat berarti bagi murid-murid ACG. “[Acara ini] menginpirasi diri untuk bisa belajar dari orang-orang yang begitu tangguh dalam menghadapi begitu banyak permasalahan dalam hidup mereka. Rintangan yang mereka lalui tidak menghalangi mereka untuk mencapai yang terbaik, dan saya sangat beruntung untuk mendapat kesempatan belajar dari hal-hal kecil yang dialami perempuan yang dipasangkan denganku, ia mengajari saya akan hal yang tidak mungkin saya ketahui sebelumnya meski hanya dalam waktu yang singkat,” tutur Ariya, siswi berusia 14 tahun.
Meski mereka baru bertemu dalam waktu yang singkat, mereka dapat dengan mudah berbaur dan saling berempati satu sama lain. Di penghujung acara, mereka saling besalaman, ada juga yang menitiskan air mata dan yang lainnya saling berpelukan sebagai tanda ucapan selamat tinggal.
Bagikan melalui Facebook Bagikan melalui Twitter