Pada tanggal 14 November 2016, Kantor Regional UNHCR untuk Asia Tenggara mengadakan sebuah diskusi panel di Jakarta mengenai “Hak Atas Kewarganegaraan dan Mengakhiri Keadaan Tanpa Kewarganegaraan di ASEAN.”
Asisten Komisioner Tinggi UNHCR untuk Bidang Perlindungan, Volker Türk, menyoroti kemajuan yang telah dicapai dalam mengakhiri keadaan tanpa kewarganegaraan di kawasan selama dua puluh tahun terakhir dan juga mengucapkan selamat kepada negara – negara anggota ASEAN atas kerja sama mereka yang baik.
Türk menyambut pencapaian pemerintah Indonesia dan pemerintah Filipina dalam mengkonfirmasi kewarganegaraan dari sekitar 3,000 orang keturunan Indonesia yang tinggal di bagian selatan Filipina, menekankan bahwa kerja sama antara kedua pemerintahan tersebut merupakan sebuah contoh baik dimana Negara dapat bekerja sama menyelesaikan masalah global keadaan tanpa kewarganegaraan. Pencapaian ini adalah salah satu bagian dari serangkaian langkah positif yang diambil oleh negara anggota ASEAN sejak peluncuran kampanye global mengakhiri keadaan tanpa kewarganegaraan pada tahun 2024.
“Sejak UNHCR meluncurkan kampanye #IBelong dua tahun lalu, negara anggota ASEAN telah menunjukkan kemajuan yang nyata dan terukur dalam menangani keadaan tanpa kewarganegaraan, dengan puluhan ribu orang-orang tanpa kewarganegaraan mendapatkan kewarganegaraan dan komitmen kebijakan baru serta inisiatif yang dibuat untuk mencapai tujuan mengakhiri keadaan tanpa kewarganegaraan,” kata Türk.
Menurut definisi, orang-orang tanpa kewarganegaraan tidak diakui sebagai warga negara oleh negara manapun. Sebagai hasilnya, mereka sering menghadapi kesulitan mengakses hak-hak dasar dan layanan serta kesulitan berintegrasi secara penuh ke dalam masyarakat. Statistik saat ini mengindikasikan bahwa terdapat 3.7 juta orang-orang tanpa kewarganegaraan di 78 negara, sementara itu UNHCR memperkirakan bahwa setidaknya 10 juta orang dapat menjadi stateless.
Berdasarkan statistik yang dilaporkan pada akhir tahun 2015, sebagian 40 persen dari orang-orang tanpa kewarganegaraan di dunia – lebih dari 1.4 juta – tinggal di Asia Tenggara. Angka ini mencakup populasi yang terkena dampak di Myanmar (sekitar 938,000 orang, tidak termasuk mereka yang merupakan pengungsi internal), Thailand (443,862), Brunei (20,524), Malaysia (11,689), Vietnam (sekitar 11,000), dan Filipina (7,138).
Penyebab keadaan tanpa kewarganegaraan berbeda-beda antar negara. Celah atau kontradiksi dalam hukum kewarganegaraan adalah penyebab utama, dan sering kali menghalangi anak-anak mengakses hak-hak yang diberikan kepada warga negara. Di beberapa negara, diskriminasi dalam hukum kewarganegaraan dapat menyebabkan keadaan tanpa kewarganegaraan, seperti kasus di mana perempuan tidak dapat mentransfer kewarganegaraannya kepada anak-anak mereka. Kurangnya pendaftaran kelahiran dan kesulitan memperoleh dokumentasi identitas selama beberapa generasi juga dapat menghalangi orang mendemonstrasikan bahwa mereka berhak atas kewarganegaraan di bawah hukum.
Selain Türk, anggota panel yang juga berpartisipasi dalam diskusi adalah Yang Mulia Ibu Lily Purba, Representatif Indonesia untuk Hak-Hak Perempuan dan Ketua Komisi ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak-Hak Perempuan dan Anak-Anak; Atty. Reuben Fondevilla, Asisten Kepala Penasihat Negara untuk Departemen Kehakiman Filipina; Khun Tuenjai Deetes, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Thailand, dan Bapak Stephen Blight, Penasihat Regional untuk Perlindungan Anak-Anak di bawah Kantor Regional UNICEF untuk Asia Timur dan Pasifik. Sementara moderator dalam diskusi tersebut adalah Bapak Thomas Vargas, Representatif UNHCR di Indonesia.
Bagikan melalui Facebook Bagikan melalui Twitter