Pengungsi muda bergabung dengan seniman lokal Indonesia dalam mengeksplorasi pengalaman para pengungsi melalui pameran seni yang disponsori oleh lembaga non-profit Art for Refuge.
Mahmud* tak dapat melepaskan pandangannya dari ketiga fotonya yang difigura dan terpasang di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta. “Rasanya seperti mimpi. Saya merasa sangat bangga,” kata pengungsi asal Afghanistan yang karyanya dipamerkan untuk pertama kalinya.
Ia merupakan satu dari 14 seniman pengungsi yang terpilih untuk memamerkan lukisan, gambar dan foto-foto mereka dalam pameran bertajuk Berdiam/Bertandang yang diselenggarakan oleh lembaga nirlaba asal Jakarta Art for Refugee (AfR) dari 20 hingga 27 September di Galeri Nasional Indonesia.
Mahmud dengan gembira berbagi cerita seputar karya fotonya. Dengan kamera yang dipinjamkan oleh gurunya fotografer lokal Chris Bunjamin, Mahmud berkeliling di jalanan Jakarta untuk memotret sejumlah momen. “Saya suka memotret panorama,” kata Mahmud. Pemuda berusia 17 tahun ini belajar fotografi dari gurunya di Roshan Learning Center, sebuah program komunitas untuk pemberdayaan pengungsi melalui pendidikan.
Ia memotret bagaimana penduduk Jakarta memanfaatkan area publik di tengah kepadatan ibukota. Foto pertama menggambarkan pot tanaman yang terbuat dari plastik botol bekas, sementara foto kedua menggambarkan baju yang dijemur pada gantungan di sebuah gang. Di foto ketiga, Mahmud memotret pedagang buah yang menggunakan sepedanya untuk menjual buah.
Pengungsi lain, Sasa, 12, juga merasa tersanjung melihat lukisannya dipajang di pameran tersebut. Melalui salah satu lukisan, ia berbagi impiannya menjadi dokter. “Saya ingin jadi jadi dokter agar bisa membantu orang lain,” kata Sasa. Lukisan yang lain adalah mata yang menangis yang menggambarkan kesedihannya sebagai pengungsi. “Ini menggambarkan pengungsi yang ada di Indonesia,” ujarnya sembari menambahkan bahwa ia ingin tinggal di negara manapun yang aman baginya dan bagi keluarganya. Pada gambar ketiga, ia menggambarkan konflik yang sedang terjadi di Afghanistan, keadaan di Indonesia dan reunifikasi keluarga di Australia.
Pendiri AfR Katrina Wardhana adalah sosok yang menyenggarakan pameran tersebut. Ia telah bekerja tanpa kenal lelah untuk memberdayakan pengungsi melalui seni dengan mengajari mereka melukis, memahat dan fotografi, sehingga mereka bisa mengekspresikan kisah-kisah mereka. Katrina percaya bahwa seni dapat memberikan pelipur lara bagi para pengungsi yang dapat meringankan beban mereka dari trauma, kecemasan, ketegangan atau depresi yang telah mereka lalui.
“Tujuan dari Pameran Berdiam/Bertandang ini tidak hanya untuk menunjukkan bakat para pengungsi, melainkan juga meningkatkan kesadaran di antara masyarakat Indonesia mengenai permasalahan pengungsi di Indonesia,” ujar Katrina. “Dengan berbagi cerita melalui seni, kami berharap masyarakat bisa melihat dunia melalui mata pengungsi,” lanjutnya.
Katrina lalu mengundang Chris untuk mengajarkan fotografi pada pengungsi muda. Mengajar pengungsi muda adalah hal yang baru bagi Chris. “Mereka [pengungsi] memiliki harapan. Mereka punya semangat. Saya ingin berbagi ketrampilan dan pengetahuan untuk bekal masa depan mereka,” kata Chris, yang juga memamerkan karyanya di pameran tersebut. “Anak-anak ini bisa menciptakan karya yang tidak kita lihat sebelumnya. Padangan-pandangan baru dari anak-anak yang sudah melewati banyak perjuangan dalam hidup mereka dan mereka sangat kreatif sekali. Saya sangat bangga dengan murid-murid saya,” tambahnya.
Seniman dan kurator pameran, Alia Swastika, juga memuji karya-karya para pengungsi. Sebagai pendatang baru di negara ini, misalnya, para pengungsi muda bisa melihat sisi lain dan keunikan dari Jakarta. Hal menarik lainnya, ujarnya, bagaimana mereka menghubungkan memori masa lalu mereka dari tempat yang ditinggalkan dan menggabungkannya dengan Jakarta.
Para seniman Indonesia yang berpartisipasi dalam pameran ini juga mendorong seniman lain untuk mendukung pengungsi di negara ini. “Saya mengundang teman-teman kreatif untuk memberikan bekal mereka ke depannya. Saya ingin masyarakat lebih aware dengan keadaan anak-anak ini karena mereka sama seperti kita semua,” ujar Chris.
*Nama-nama pengungsi dalam artikel ini telah diubah.
Bagikan melalui Facebook Bagikan melalui Twitter