Melalui film dokumenter, Liaqat dan keluarganya menceritakan kisah mereka tentang harapan dan mimpi-mimpi pengungsi. Dokumenter yang diproduksi oleh UNHCR dengan dana dari Uni Eropa (Departemen Perlindungan Sipil dan Bantuan Kemanusiaan Komisi Eropa/ECHO) menyoroti tantangan yang dihadapi oleh pengungsi urban di Jakarta, Indonesia, sekaligus di Kuala Lumpur, Malaysia, dan Bangkok, Thailand.
UNHCR menyelenggarakan pemutaran film documenter pada 10 Juli di Goethe-Institute Jakarta, diiringi dengan diskusi mengenai kesempatan dan tantangan yang dihadapi pengungsi urban, sekaligus kebijakan detensi di Indonesia.
Dalam video tersebut, Liaqat dan adiknya Rahila mengisahkan kehidupan keluarga mereka di dalam rumah detensi imigrasi (rudenim). Terima kasih kepada mekanisme yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia, keluarga Liaqat dipindahkan dari rudenim ke tempat hunian di Jakarta. Liaqat dan seluruh anggota keluarganya diberikan pengakuan khusus pada acara tersebut untuk berbagi kisah mereka.
Berbagai penelitian melaporkan bahwa detensi menyebabkan efek yang buruk pada kesehatan dan perkembangan anak. Penahanan di rudenim dapat mengurangi kemampuan anak dalam menikmati hak-hak asasinya, termasuk hak akan pendidikan, hak akan bermain, dan hak untuk mengembangan kesempatan mereka.
“Kita semua punya harapan dan impian. Begitu juga dengan para pengungsi. Impian untuk menjadi seniman, astronot atau pekerja kemanusiaan. Saya tahu banyak pengungsi yang memiliki ketrampilan, bakat dan pengetahuan untuk dibagi dengan yang lain – mereka cerdas, punya kemauan dan kemampuan. Yang mereka perlukan adalah kesempatan – seorang mentor, yang mungkin untuk membantu mereka dalam mencapai impian dan tidak meninggalkan harapan mereka,” kata Thomas Vargas, UNHCR Representatif di Indonesia.
“Pengungsi memiliki harapan dan impian; mereka juga memiliki hak-hak. Kami memberikan pengkhormatan atas peran penting UNHCR, bersama-sama dengan negara yang menampung pengungsi dan LSM, yang memungkinkan pengungsi mendapatkan hak-hak mereka akan kemananan dan perlindungan, dan dalam meningkatkan kesadaran publik akan tantangan yang dihadapi pengungsi dan kontribusi yang bisa mereka berikan kepada negara tuan rumah. Uni Eropa – dan badan kemanusiaannya, ECHO – sangat senang memberikan dukungan atas film documenter yang ditayangkan hari ini,” ujar Charles-Michel Geurts, Wakil Ketua Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia.
Acara tersebut menandai kerja UNHCR dalam mempromosikan alternatif detensi anak dan keluarga mereka. Pembicara dari masyarakat sipil dan ECHO berbagi pengalaman mereka dalam membantu pengungsi dan mengapa penting untuk terlibat. Heru Susetyo, ahli hak asasi manusia dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyampaikan bahwa menurut Peraturan Presiden No 125 tentang Penanganan Pengungsi, rudenim didirikan untuk mengakomodir warga negara asing yang melanggar undang-undang keimigrasian Indonesia, bukan semata-mata untuk pengungsi. Sementara itu, Roman Majcher, ahli kemanusiaan dari ECHO, menyoroti pentingnya peran aktif anggota masyarakat dalam meningkatkan kesadaran akan isu-isu pengungsi, yang dapat mendorong para pembuat kebijakan untuk memperkuat perlindungan untuk pengungsi.
Diovio Alfath, pendiri LSM Sandiya Institute, yang menyelenggarakan beberapa proyek untuk membantu pengungsi melalui Sunrise Learning Center dan Katrina Wardhana, pendiri program pemberdayaan pengungsi dan kwirausahaan sosial Art for Refuge, berbagi pengalaman mereka bekerja dalam memberdayakan pengungsi dan memperlihatkan bagaimana pemberdayaan adalah penting untuk membentuk rasa percaya diri mereka di saat pengungsi mempersiapkan masa depan.
UNHCR terus bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan rekan-rekan kerja yang lain di Indonesia, termasuk Organisasi International untuk Migrasi (IOM), Church World Service dan Yayasan Tzu Chi, untuk mendirikan tempat tinggal untuk lebih banyak pengungsi yang bebas dari rudenim. Hingga Mei 2018, Indonesia menampung sekitar 13,900 pengungsi dari 49 negara dari seluruh dunia.
Dari jumlah ini, 17% dari jumlah pengungsi, termasuk sekitar 700 anak (21% dari jumlah total anak-anak pengungsi) tinggal di rudenim di seluruh Indonesia, menunggu untuk dipindahkan. Namun, angka ini menunjukkan penurunan yang signifikan dalam segi jumlah pengungsi di rudenim dari tahun-tahun sebelumnya. Di awal 2015, sejumlah 38% dari pengungsi yang terdaftar di Indonesia tinggal di rudenim.
“Bekerja bersama dengan Pemerintah Indonesia, rekan-rekan kerja, dan stakeholders, UNHCR berharap akan lebih banyak pengungsi yang bebas dari rudenim. Selain itu, UNHCR akan terus mengadvokasi memperluas opsi-opsi alternatif yang termasuk di dalamnya adalah pelaporan rutin dan skema penjamin,” ujar Thomas Vargas.
Bagikan melalui Facebook Bagikan melalui Twitter