Di suatu Senin pagi, staf UNHCR dan International Organization for Migration (IOM) tiba di SD Negeri Jongaya yang berlokasi dekat dengan akomodasi pengungsi di Makassar, Sulawesi Selatan. Pada hari itu, empat anak pengungsi memulai hari pertama sekolah mereka sejak tiba di Indonesia. Anak-anak tersebut terlihat sangat bersemangat saat melewati pintu gerbang sekolah.
Lengkap dengan seragam sekolah, anak-anak yang berusia antara 7 sampai 11 tahun tiba didampingi oleh orang tua masing-masing. Meskipun nampak sedikit tegang, namun mereka tetap terlihat gembira. Hamid (bukan nama asli), terlihat rapih dengan rambut disisir ke belakang, sedangkan anak-anak perempuan – Ana, Aisha, dan Sadia (bukan nama asli) juga terlihat rapih dan menggunakan hijab.
Dengan senyum lebar, Aisha dan saudara perempuannya, Sadia, mengekspresikan kegembiraan mereka karena dapat kembali bersekolah. “Alhamdulillah, kami bisa kembali pergi ke sekolah setelah lama menunggu”, kata Aisha kepada UNHCR.
Anak-anak pengungsi dan orang tuanya disambut dengan hangat oleh Kepala Sekolah, Bapak Abdul Majid, yang kemudian memperkenalkan mereka kepada murid lainnya dan para guru pada saat upacara bendera. Setelah mempelajari umur dan latar belakang pendidikan masing-masing anak, Bapak Majid segera menempatkan mereka di kelas yang tepat. Beliau juga turut mengantar anak-anak tersebut ke kelas masing-masing untuk bertemu dengan teman-teman baru mereka.
“Mereka sudah lama tidak bersekolah,” kata Bapak Majid. “Kami berusaha untuk menutup celah tersebut dengan memastikan anak-anak pengungsi masuk di tingkat yang sesuai dengan umur mereka, sehingga mereka tidak tertinggal setelah lama tidak bersekolah.”
Pemerintah daerah Makassar berkomitmen untuk mendukung penerimaan anak-anak pengungsi ke sekolah-sekolah negeri di Makassar. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak untuk menyediakan pendidikan dasar bagi semua anak yang berada di dalam wilayah negara. UNHCR bekerjasama dengan pemerintah, IOM dan mitra kerja lainnya di Makassar, dan di kota-kota lainnya di Indonesia, untuk membantu anak-anak pengungsi diterima di sekolah-sekolah negeri dimana nantinya mereka dapat memperoleh akreditasi.
Bapak Majid menyatakan bahwa ia senang dapat menerima anak-anak pengungsi untuk menikmati pendidikan dasar di sekolahnya. “Kami tidak memiliki masalah dalam menerima anak-anak tersebut, karena kami tidak memiliki hak untuk menolak anak-anak yang ingin belajar; selain itu, latar belakang mereka sebagai pengungsi membuat mereka menjadi sangat rentan,” kata Bapak Majid. “Semoga murid-murid kami juga dapat memahami nilai-nilai kemanusiaan dan bersyukur atas situasi di Indonesia dimana mereka dapat pergi ke sekolah dengan aman,” tambahnya.
Bapak Majid juga menjelaskan ia percaya bahwa pendidikan merupakan hal krusial yang dapat membantu kohesi sosial, memberikan akses terhadap informasi penyelamatan jiwa, memenuhi kebutuhan psikososial, serta dapat menciptakan lingkungan yang stabil dan aman bagi anak. Pendidikan juga membantu menumbuhkan rasa memiliki sebagai bagian dari masyarakat dan mencapai hidup yang produktif dan berarti.
Seorang anak dengan bahagia memperkenalkan dirinya kepada teman barunya di kelas, seorang anak pengungsi (kanan).
Untuk sebagian anak-anak pengungsi, kurangnya kemampuan berbahasa Indonesia menjadi tantangan utama dalam menerima pelajaran di sekolah negeri. Sedangkan untuk mereka yang dapat berbahasa Indonesia, menulis dan membaca tetap menjadi tantangan karena adanya perbedaan antara Bahasa Indonesia dengan abjad bahasa ibu mereka. Untuk mengatasi permasalahan ini, di SD Jongaya Bapak Majid mengatakan bahwa guru-guru akan membantu anak-anak pengungsi belajar Bahasa Indonesia. Lebih lanjut lagi, UNHCR juga berkomunikasi secara rutin dengan orang tua anak-anak pengungsi untuk mengetahui perkembangan mereka di sekolah.
UNHCR bersama dengan Bapak Majid sedang merancang sebuah acara untuk memperkenalkan isu kepengungsian kepada guru-guru dan murid-murid di sekolah. Upaya ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran mengenai kehadiran pengungsi dan kondisi-kondisi yang memaksa mereka untuk mencari perlindungan ke negara lain, seperti Indonesia. Gagasan ini diterima oleh Bapak Majid. Berbagai buku dan video terkait, ujar Bapak Majid, akan membantu meningkatkan pengetahuan murid-murid mengenai kepengungsian.
UNHCR terus bekerjasama dengan IOM dan mitra-mitra kerja lainnya seperti Dompet Dhuafa dan Palang Merah Indonesia, untuk memastikan anak-anak pengungsi mempelajari Bahasa Indonesia dengan baik sehingga mereka dapat bersekolah di sekolah-sekolah negeri.
Bagikan melalui Facebook Bagikan melalui Twitter